Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

UTS TIK


Terbang Bersama Sedihku

“Naila, kamu kenapa? Kok diem terus” kataku dengan khawatir.
Yang ditanya hanya menggelengkan kepala dengan perlahan, wajahnya lesu. Seakan penuh beban. Aku hanya berharap bisa sedikit membantu jika dia mendapatkan permasalahan, bukankah seorang sahabat harusnya begitu.
“Naila, aku mau loh jadi pendengar kamu, mungkin aku bisa bantu” kataku dengan hati-hati
Naila menengok sebentar, lalu memalingkan mukanya, sekilas aku melihat semburat sedih di wajahnya, kelopak matanya mencoba membendung airmatanya. Masih bertahan dengan berdiam diri, aku hanya bisa duduk di sampingnya dan menunggu dia untuk bercerita.
Sebutir airmatanya jatuh membasahi pipinya yang sawo matang itu. Bibirnya yang bergetar mencoba mengeluarkan suara.
“Ra, haruskah aku berdiam diri melihat mama papaku selalu bertengkar di depanku, mereka  menomorsatukan keegoisan mereka di banding aku anaknya yang selalu diliputi rasa sedih” kata Naila dengan airmata yang semakin deras.
Barulah aku mengerti, kenapa Naila terlihat sedih akhir-akhir ini. Naila sering menceritakan kepadaku tentang bagaimana mama papanya yang selalu bertengkar. Mereka bermaksud bercerai, tetapi nenek Naila dan Naila sendiri tak pernah mensetujuinya.
“Ra, haruskah aku mensetujui saja keinginan mereka untuk bercerai, padahal aku sendiri tak akan pernah sanggup melihat mereka berpisah, di sisi lain aku juga tak akan sanggup lagi mendengar pertengkaran mereka” katanya sambil mengusap airmatanya.
Aku menghela nafas. Aku tidak menyukai perceraian, seringkali aku melihat infotaiment, para artis yang dengan mudahnya, nikah-cerai. Aku berkata begitu mungkin karena keluargaku adalah keluarga sederhana yang harmonis. Pada kenyataannya aku melihat fakta lain, setelah mengenal Naila. Setelah aku mengerjakan tugas di  rumah Naila, dan disanalah pertama kalinya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, mama papa Naila bertengkar. Dan begitulah fakta yang sesungguhnya.
“Naila, tak ada yang tau hari esok, nanti, dan seterusnya, hanya Tuhan yang tahu. Ikuti saja hidup ini seperti air yang mengalir, hidup ini sudah direncanakan oleh Tuhan, tinggal bagaimana kita menyikapinya”kataku sambil mengelus rambutnya.
“Tapi, orangtuaku gak pernah ngerti perasaanku, dasar orangtua egois”kata Naila sambil menumpahkan airmatanya lagi, kali ini sambil meluapkan kemarahannya.
Aku memeluknya erat, mencoba meredakan tangisannya.
Tangisan Naila mulai  mereda, seulas senyum pun mulai mengembang dari pipinya yang basah dengan airmata. Aku mengusap air matanya dengan pelan.
“tetaplah jadi sahabatku yang selalu tegar, Naila”kataku dengan senyum.
Seperti biasa, aku dan Naila berjalan pulang berbarengan. Biasanya kami saling bercandaan di jalan, tawa renyahnya selalu dia suguhkan, tapi kali ini tawa renyah itu dia gantikan dengan semburat sedih di wajahnya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Naila, ikut aku bentar yuk!” ajakku sambil menarik tangan Naila.
Naila masih terlihat bingung, tapi aku tidak mempedulikannya, aku celingukan mencari sesuatu yang aku pikirkan tadi. Aku masih menggandeng tangan Naila, sambil terus celingukan. Akhirnya sesuatu yang aku cari itu aku temukan. Kulihat bapak penjual sedang melepas lelah, di bawah pohon rindang di dekat lapangan. Dengan senang aku tarik Naila kesana.
“Pak, beli dua dong balonnya”kataku pada bapak itu sambil menunjuk balon yang hendak aku beli.
Naila masih berdiri mematung disampingku dengan pandangan bingung, lalu aku mengajaknya ke tengah lapangan.
“kenapa? Bingung ya La?” kataku sambil cengar cengir
“banget deh Ra, buat apa coba”
Aku diam seribu bahasa, membiarkan Naila bingung sendiri. Sedetik kemudian, aku mengeluarkan kertas, dan bolpoin
“nah loh aku tambah bingung, sekarang pake ngluarin bolpoin sama kertas, mau belajar di lapangan ye”kata Naila bingung
Aku masih diam, dan langsung menulis kata-kata dalam secarik kertas.



Tuhan, Rara gakmau sahabat Rara yang cantik ini sedih, soalnya kalo lagi sedih mukanya nakutin sih hehe.
Rara pengen Naila tau, kalo Naila masih punya Rara, jadi jangan nangis terus.
 
 


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Aku membiarkan Naila membaca tulisanku ini. Naila tersenyum manis sekali. Lalu memelukku dengan erat.

“sekarang giliran kamu’kataku sambil memberikan bolpoin beserta secarik kertas.

Tuhan, terimakasih ya udah kasih Rara yang baik hati buat Naila. Naila janji, Naila bakal jadi anak yang baik buat mama sama papa, Naila bakalan berusaha bikin mama sama papa baikan.
 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
                                   
Aku dan Naila mengikatkan secarik kertas itu di seutas tali balon. Dulu Rara kecil punya mimpi, jikalau dia menerbangkan kertas harapan bersama dengan balon gas, maka Tuhan akan membacanya.
Tapi sekarang Rara besar sudah tahu, bahwa balon yang dia terbangkan akan meletus sebelum sampai ke langit.
“1..2..3.. yeeeay” aku dan Naila berteriak bersama sambil menerbangkan balon.
Balon itu terus terbang menjauh. Aku dan Naila duduk di tengah lapangan yang hari itu terasa sejuk.
“Rara, andaikan balon itu meletus dan jatuh, aku pengen dia jatuh tepat dimana mama dan papaku berada”katanya berangan-angan.
“iya dong La, balonnya kan terbang barengan sama harapanmu”kataku dengan tersenyum
“bukan cuma itu aja Ra, balonnya terbang bareng sama sedihku”mata Naila  berkaca-kaca, pipinya mengembang karena senyum manisnya.
“iya balonnya bikin sahabatku senyum lagi”kataku dengan senang
Naila meneteskan sebulir airmatanya, seakan mengerti perasan yang sedang dirasakannya, aku pun tak sanggup membendung airmataku.
“balon gas terbang bersama sedihku”kata Naila dalam hati.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar